Sabtu, 07 Februari 2015

Wedus Kacangan Niat Poligami (4)






Padepokan Wedusan mulai mapan. Kesibukan Kiai Wedus Kacangan di lapangan tak lagi sesibuk dulu. Dia kini banyak melakukan pengawasan proses pendidikan yang ada di padepokan yang dipimpinnya. Hanya tiap pagi dan malam hari dia mengisi kuliah umum.

Sehari-hari, sejumlah guru seperti Kuda, Kura-kura, Kijang, Banteng, Sapi dan Biri-Biri mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Perhatian Kiai Kacangan kini tertuju pada Biri-Biri. Struktur tulang dan daging yang dibalut kulit dengan bulu putih tebal sangat mempesona si Kambing Kacangan.

Dia sudah belajar bagaimana banyak pemimpin di tempat lain kawin dengan lebih dari satu pasangan. Untuk mengamankan hasratnya, Kiai Kacangan mendatangi betinanya.

“Apa pendapatmu tentang poligami, nyai?”

Sontak tanyaan ini membuat Nyi Kacangan terperangah, “Kamu mau kawin lagi?! Gak sudi! Gantian celana dalam saja saya risih, apalagi gantian...,”

“Nyai, mengawini banyak betina adalah naluri pejantan. Siapa bisa melawan kehendak alam?!” potong Kiai Kacangan.

“Nafsu kamu bilang alam! Pinguin, Kutilang dan Dara sangat setia! Aku kurang apa?! Saat susah aku menemanimu. Apa karena jadi pemimpin padepokan, lantas kamu melupakan mimpi romantis kita dulu?” balas Nyi Kambing beranak dua itu.

“Justru untuk memperkuatnya. Dengan merelakan aku kawin lagi, kamu akan dikenal sebagai istri yang utama. Bukankah membuka pintu sorgaloka jika kamu tulus mau berbagi cinta?!”

“Jangan mengada-ada! Sorga tak memihak hati yang penuh lara!”

“Bukankah sudah kewajiban istri untuk taat kepada suami?” Sergah Kiai Kacangan.

“Ki, bukankah keseimbangan berbagi peran jauh lebih utama daripada kepatuhan tanpa nalar?! Keseimbangan tak akan terwujud jika kau bermain-main dengan ungkapan ‘yang penting adil’, karena sampai kapan pun keadilan hanyalah mimpi!” tukas Nyi Kacangan.

Kiai Kacangan menghentikan perdebatan. Namun, setiap malam jelang tidur, dia berusaha meyakinkan istrinya perihal keutamaan seorang wanita yang dimadu. Di saat yang sama, dia melarang Nyi Kacangan menceritakan ini kepada siapapun. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar