Rabu, 11 Februari 2015

Ironi Abadi






Dalam kehidupan sehari-hari, ironi selalu ada di mana-mana. Oleh karena itu, kata ironi diciptakan untuk mengacu kepada hal-hal yang berkebalikan dari yang orang harap. Di antara ironi yang sering kita temukan tersebut adalah:

1. Sekolah
Orang sering mengira kalau masuk sekolah (termasuk universitas dan sejenisnya) bakal mendapatkan pendidikan.

Faktanya, pendidikan itu harus dicari sendiri.

Kebanyakan sekolah hanya memperlambat laju keterdidikan dan guru hanya mengajar untuk menjadikan para murid sesuai keinginannya. Hanya keberuntungan jika ada guru yang tulus membimbing sesuai bakat dan keinginan siswa.

Di kelas, guru lebih sering menginginkan muridnya jadi penurut atau pengikut pahamnya, mengapresiasi kenarsisannya, menjadi pendengar keluhan honor yang kecil dan pengagum kehebatannya, atau mengisi pundi-pundinya.

2. Fesyen
Orang mengatakan bahwa fesyen adalah gabungan antara kecerdasan ide dan kreativitas yang akan membuat ekspresi, terutama, perempuan lebih proporsional, hidup, bebas, bahkan mampu membuat pria mimpi basah dengan sekali lihat.

Sejatinya, hal-hal paling luar biasa mantapnya harus dilakukan tanpa busana, dari adegan kamar mandi hingga ranjang.

3. Jalanan
Orang kira bahwa kebut-kebutan di jalan adalah bukti mahirnya berkendara dan kehebatan karena berburu dengan waktu.

Nyatanya, kelakuan tersebut hanya membuktikan bahwa nyawanya tak berharga sama sekali, sehingga tak perlu harus hati-hati. Juga, buru-buru di jalan hanyalah bukti bahwa yang bersangkutan tak pernah berpikir tentang menejemen waktu sedikit pun.

4. Politik
Masyarakat mengira para politikus bakal betulan hendak wujudkan janji politik untuk kesejahteraan bersama.

Yang pasti, mereka akan wujudkan apa yang mereka omongkan hingga berbusa-busa ke publik untuk dirinya sendiri terlebih dulu.

5. Media Sosial
Makin banyak media sosial yang digunakan, orang pikir makin punya banyak teman.

Yang benar, semakin tak ada waktu untuk menyambung silaturahmi dalam kehidupan nyata. Terlalu banyak medsos yang digunakan juga sangat mungkin membatasi segmen pergaulan.

Hidup BerFacebook




Facebook benar-benar telah mengubah banyak hal dalam hidup manusia, baik yang bagus maupun sebaliknya. Pengaruh Facebook tersebut antara lain:

Pertemanan
Orang bisa dapat teman baru yang semazhab dan sepemikiran atau malah memutuskan pertemanan gara-gara sering adu argumen di Facebook.

Sebar undangan
Undangan lewat Facebook sangat praktis dan hemat.

Up-date berita
Facebook bisa jadi sumber berita, bagi semua penggunanya; dari berita politik hingga teman sedang hamil atau sudah janda.

Iri
Facebook dapat menjadi ajang memamerkan apa yang dimiliki: foto-foto liburan di tempat terkenal, mobil baru, rumah, kekasih, hingga makanan. Intinya, segala hal dapat ditonjolkan. Ini sangat mungkin membuat yang lain iri.

Bagi mazhab yang penting niat, ya salah sendiri kok iri. Wong, gak niat bikin orang lain iri kok, apalagi niat pamer! Apa gunanya ada kolom gambar dan status kalau gak diisi?!

Kesal
Facebooker bisa kesal karena tersinggung status orang lain. Merasa tertohok, dia habiskan waktu utk membela diri, alih-alih introspeksi.

Bagi mazhab yang penting niat, ya salah sendiri kok kesal, gak ada niat bikin orang lain kesal kok. Bagi yang tertohok, ngapain nyinggung2 orang di Facebook, aku gak niat gitu kok!

Bahagia
Orang bisa bahagia sesaat karena melihat tulisan atau status orang lain yang lucu dan menghibur.

Belajar
Banyak hal yang bisa didapat dari posting orang lain: resep makanan, nasehat, pengetahuan dasar dll.

DUA SIFAT NABI YANG SENGAJA KITA CAMPAKKAN






Jika harus didaftar, dua teratas dari ajaran moral dan sikap para Nabi yang sengaja kita tanggalkan adalah kesederhanaan dan kerendahhatian.
Kesederhanaan sekarang dijauhi orang karena dianggap kurang gaya dan udik, sedangkan kerendahatian hilang karena dinilai kurang ekspresif dan secara salah kaprah dianggap bentuk ketidakpercayaan diri.
Kesederhanaan adalah sebuah pilihan gaya hidup yang lebih rendah dari yang dapat orang usahkan. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa syukur, membatasi kesenangan duniawi dan mengukuhkan empati.
Kesederhanaan harus dibedakan dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Ukuran Kesederhanaan antara satu orang dan lainnya pun tak bisa disamakan. Misalnya, seseorang berpenghasilan Rp 1 miliar sebulan. Dia sederhana andai memilih rumah dengan harga Rp 1 miliar dan kendaraan Rp. 500juta.
Pada kasus lain, seseorang menungganggi motor seharga Rp 50 juta, sedangkan gajinya Cuma 3 juta/bulan. Dipastikan, dia bakal selalu was-was jika motornya diinjak nyamuk sekalipun. Dia telah melampaui batas normal dan jauh dari sederhana.
Sementara itu, rendah hati adalah menahan diri dari menceritakan atau mengungkapkan kehebatan diri demi menjauhi sifat pamer, mencederai perasaan orang lain dan kesombongan. Rendah hati akan menumbuhkan cinta kasih dan apresiasi kepada sesama.
Sayangnya, di era maraknya media sosial seperti sekarang, rasanya kesederhanan dan kerendah-hatian menjadi kabur. Sepertinya, segala kehebatan dan kepemilikan harus kita tunjukkan ke orang ramai.
Kita terlalu larut mengunggah kehebatan diri melalui guritan kata dan jepretan gambar, mengabarkan aktivitas terbaik yang pernah kita lakukan, bahkan menceritakan ibadah yang sudah dikerjakan.
Tentu, tak akan ada orang yang mau mengakui kalau itu adalah kesengajaan untuk mendepak sifat sederhana dan tawadhu' dari jiwa kita. Namun, kita patut waspada karena sudah tabiat manusia ingin diakui walaupun dengan mengorbankan apapun, apalagi "cuma" kesederhanaan dan kerendahhatian.

Wedus Kacangan Nikmati Kesemokan Biri-biri (5)





Berulang-ulang melakukan indoktrinasi tentang kelaziman dan manfaat poligami, Kiai Kacangan berhasil mendapatkan hati istrinya.
Nyi Kacangan luluh. “Siapa yang kiai kehendaki?” tanyanya.

“Biri-Biri. Dia sehewan guru yang baik, sabar dalam mendidik anak-anak binatang. Dia akan membantu kita membesarkan padepokan.”

“Halah! Alasan, bilang saja dia lebih semok dan mulus daripada diriku!” Balas Nyi Kacangan.

“Sungguh, nyai. Ini demi besarnya padepokan. Sayang, jika dinda Biri-Biri dikawin sama Kijang atau domba yang masih ingusan! Potensi besarnya akan memudar. Apalagi jika suaminya nanti tak memiliki kedudukan.”

Walau kalut bagai diincar maut, Nyi Kacangan memberi persetujuan dengan syarat Kiai Kacangan akan memberikan hak waris kepada anak-anak dari rahimnya dan menetapkannya sebagai istri utama.

Di lain pihak, Biri-Biri tak kuasa menolak menjadi istri kedua. Selain posisi terhormat di padepokan, kehidupan diri dan anaknya akan lebih terjamin, ketimbang harus menikah dengan binatang lajang yang belum jelas masa depannya.

“Ini kesempatan yang baik, daripada mendapat lajang yang secuil masa depannya saja tak tahu,” pikirnya.

Setelah pengukuhan suami-istri selesai, Kambing Kacangan tersenyum bahagia. Rona kebanggaan sangat berlimpah di wajahnya.

Dia terkekeh dan mengembik keras-keras kala seekor Kuda menggodanya,”Jangan lupa sawo mengkal, kacang merah dan madu, kiai!”

Kambing Kacangan menikmati malam pertamanya di rumah baru. Sementara suara binatang yang berpesta masih terdengar, di rumah lama Nyi Kacangan semaput.

Dia beberapa kali pingsan. Sekali sadar, imajinasi tentang keharmonisan rumahtangganya yang lenyap datang lagi. Dia lalu pingsan kembali. Setelah siuman, bayangan aksi suami dengan madunya di atas ranjang bagai memaku kepalanya. Dia pun kembali semaput.

Nyi Kacangan mulai tenang keesokan hari. Di sepanjang siang dia mendengkur setelah sepanjang malam tak bisa tidur, lelah batin yang akut. Sementara itu, Kiai Kacangan ramai mendapat ucapan selamat. Para penjilatnya menyebut dia telah sempurna menjadi pejantan. (bersambung)

Sabtu, 07 Februari 2015

Wedus Kacangan Niat Poligami (4)






Padepokan Wedusan mulai mapan. Kesibukan Kiai Wedus Kacangan di lapangan tak lagi sesibuk dulu. Dia kini banyak melakukan pengawasan proses pendidikan yang ada di padepokan yang dipimpinnya. Hanya tiap pagi dan malam hari dia mengisi kuliah umum.

Sehari-hari, sejumlah guru seperti Kuda, Kura-kura, Kijang, Banteng, Sapi dan Biri-Biri mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Perhatian Kiai Kacangan kini tertuju pada Biri-Biri. Struktur tulang dan daging yang dibalut kulit dengan bulu putih tebal sangat mempesona si Kambing Kacangan.

Dia sudah belajar bagaimana banyak pemimpin di tempat lain kawin dengan lebih dari satu pasangan. Untuk mengamankan hasratnya, Kiai Kacangan mendatangi betinanya.

“Apa pendapatmu tentang poligami, nyai?”

Sontak tanyaan ini membuat Nyi Kacangan terperangah, “Kamu mau kawin lagi?! Gak sudi! Gantian celana dalam saja saya risih, apalagi gantian...,”

“Nyai, mengawini banyak betina adalah naluri pejantan. Siapa bisa melawan kehendak alam?!” potong Kiai Kacangan.

“Nafsu kamu bilang alam! Pinguin, Kutilang dan Dara sangat setia! Aku kurang apa?! Saat susah aku menemanimu. Apa karena jadi pemimpin padepokan, lantas kamu melupakan mimpi romantis kita dulu?” balas Nyi Kambing beranak dua itu.

“Justru untuk memperkuatnya. Dengan merelakan aku kawin lagi, kamu akan dikenal sebagai istri yang utama. Bukankah membuka pintu sorgaloka jika kamu tulus mau berbagi cinta?!”

“Jangan mengada-ada! Sorga tak memihak hati yang penuh lara!”

“Bukankah sudah kewajiban istri untuk taat kepada suami?” Sergah Kiai Kacangan.

“Ki, bukankah keseimbangan berbagi peran jauh lebih utama daripada kepatuhan tanpa nalar?! Keseimbangan tak akan terwujud jika kau bermain-main dengan ungkapan ‘yang penting adil’, karena sampai kapan pun keadilan hanyalah mimpi!” tukas Nyi Kacangan.

Kiai Kacangan menghentikan perdebatan. Namun, setiap malam jelang tidur, dia berusaha meyakinkan istrinya perihal keutamaan seorang wanita yang dimadu. Di saat yang sama, dia melarang Nyi Kacangan menceritakan ini kepada siapapun. (bersambung)

PROKLAMASI GURU IRONISIA



Kami, guru bangsa Ironisia, dengan ini menyatakan bahwa sesungguhnya kebodohan itu ialah hak setiap orang dan oleh sebab itu, maka pemintaran di Ironisia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-hegemoni dan peri-kekuasaan.

Dan perjuangan pergerakan pembodohan di Ironisia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Ironesia ke depan pintu gerbang kebodohan sepanjang masa, yang terjajah, pecah-belah, tertinggal, miskin dan mundur.

Selanjutnya, daripada itu, kami guru bangsa Ironisia siap merangkap tugas menjadi politisi, pebisnis dan penguasa sekaligus. Hal-hal mengenai pengesahan tugas merangkap tersebut dan lain-lain akan dilakukan dengan cara saksama dan dalam tempo selekas-lekasnya.

Atas nama guru negeri dongeng Ironisia,
Koza Imbuzi

Kambing Kacangan Jualan Berkah dan Tulah (3)






Kambing Kacangan merasa lebih baik dengan berdirinya bangunan baru hasil gotong-royong para binatang. Pembangunan fisik selesai, kini dia merencanakan apa yang disebutnya sebagai pembangunan mental.

Yang ada di kepalanya adalah bagaimana membuat semua orang yang ada di Padepokan Wedusan patuh kepadanya. Setelahnya, semua hal gampang dibentuk.

Semalam suntuk merenung, akhirnya dia mendapat dua kata kunci, yakni berkah dan tulah.

“Jika ingin berkah dan berhasil, seorang murid harus taat pada guru. Lihatlah Musa yang gagal menyerap samudera ilmu dari Khidir gara-gara melanggar perintahnya untuk diam tanpa tanya. Maka, kalian harus patuh pada guru kalian,” nasehatnya dalam banyak kesempatan.

“Ki Kacangan, bagaimana jika gurunya salah?” tanya anak domba.

“Guru tak akan mengajarkan kesesatan. Jika ada yang salah, mungkin itu hanya perbuatannya. Ya, jangan dicontoh. Tapi, biasanya apa yang tampak salah di mata murid, belum tentu benar-benar sebuah kesalahan. Lagi-lagi, seperti kisah Nabi Musa dan Khidir tadi,” jelas Kiai Kacangan.

Kiai Kacangan juga menegaskan kalau membantah guru hanya mendatangkan tulah. “Kualat kalian jika membantah guru,” ujarnya.

Untuk menguatkan pesannya, beberapa kali Kiai Kacangan menggali ingatan tentang peristiwa hebat yang pernah dialaminya. Setiap menemukannya, segera diceritakan kepada para murid.

“Saya pernah mendengar auman macan, lalu saya berdoa supaya tak terlihat. Saya hanya diam. Suara macan pun tak terdengar lagi,” mengutip salah satu ceritanya.

Kiai Kacangan sangat lihai bercerita. Mendengarnya, siapapun pasti antusias. Dia lalu meminjam istilah yang dalam bahasa manusia disebut karomah untuk menyebut keistimewaan yang ada padanya tersebut.

Indoktrinasi dengan berkah dan tulah yang dibumbui cerita-cerita kehebatan Kiai Kacangan sangat efektif membuat para murid terpesona dan patuh tanpa syarat. (bersambung)

Kamis, 29 Januari 2015

NYANYI CEPAT ATAU NGAJI ENAK?





Suatu hari Saya mengaji dengan tempo cepat. Aku yang ada di sampingnya mengingatkan, “Hei, cepet banget ngajinya?! Pelan-pelan, dong, dibaca dengan hidmat gituloh, biar enak.”
Saya dengan santai menjawab, “Biar cepat khatam!”

Lain waktu, Saya menyanyikan lagu berirama jaz dengan tempo pelan. Di tengah usaha memiripkan kualitas suara laiknya penyanyi asli, Aku kembali berseloroh, “Gak usah dienak-enakin gitu. Pakai tempo rap aja biar cepat selesai, 5 menit bisa 5 lagu!”
“Apaan!? Ya gak enak dong, masa nyanyi harus buru-buru?!,” balas Saya.
Saya ingin kalau ngaji cepat-cepat biar lekas khatam, tapi kalau nyanyi ya dengan tartil supaya mudah meresapi makna dan menghayati kreasi tona serta keindahan suara yang Saya hasilkan.

Namun, Aku selalu turut campur urusan Saya. Padahal, Aku sendiri paling senang mengaku-aku. Bisa jadi, Aku hanya pandai menasehati, tapi mengaji atau menyanyi sebait saja jarang-jarang.

BATAS KITA DAN YANG LAIN





Batas kita dengan orang lain yang paling distingtif adalah KECERDASAN. Kecerdasan dimaksud adalah paduan antara kecerdasan kognitif dan emosional.

Jika hanya punya kecerdasan kognitif, kita hanya akan jadi orang pintar yang tanpa perasaan. Orang jenis ini sangat rawan melakukan sabotase terhadap kebenaran dan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Jika terlalu mengandalkan kecerdasan emosional, banyak tujuan akan terbengkalai karena tak didasari pada argumen-argumen logis dan analitis yang memadai.

Dua kecerdasan ini akan menegaskan kita sebagai apa dan siapa, yang secara otomatis bakal membuat kita serupa dengan atau lain dari yang lain.

Secara ringkas, jika harus mendefinisikan siapa kita, jawaban sederhananya adalah level kecerdasan yang kita miliki. Kecerdasan ini akan mendudukkan atau menyingkirkan kita dari orang lain.

Kambing Kacangan Kukuhkan Kedudukan (2)




Setelah melihat padepokan penuh anak murid yang belajar, Kambing Kacangan memandang perlu melakukan perluasan. Begitu ide mulia disampaikan, margasatwa berbondong-bondong membantu.

Burung Manyar menganyam janur untuk atap; Rayap dan Semut kompak gotong-royong infakkan ludahnya sebagai semen untuk pondasi; Dengan kakinya, Kebo dan Sapi mengaduk adonan tanah liat bercampur kotorannya untuk lantai dan dinding; Burung Pelatuk penuh gairah memfungsikan paruhnya sebagai bor; dan kawanan Monyet urun tenaga menjadi tukang.

Segera, bangunan baru berdiri. Melihat besar dan megahnya padepokan, Kambing Kacangan merasa ada yang kurang.

“Kita harus memberinya nama, supaya gampang disebut,” katanya, yang diiyakan oleh seluruh binatang.

Tanpa ada sanggahan dari siapapun, Kambing Kacangan menamainya Padepokan Wedusan. Di saat yang sama, binatang diajari untuk memanggilnya Kiai Kacangan. Dia diceritakan bahwa di sebuah kerajaan di Jawa, Kebo mendapatkan nama indah dan gelar kiai.

Kenduri digelar sebagai acara syukuran berdirinya bangunan baru sekaligus selametan pemberian nama.

Lebah menyumbangkan madu untuk pemanis minuman. Tikus berbagi gabah, yang dicurinya dari sawah petani. Landak menyumbang buah. Kelinci menyediakan sayuran.   Masing-masing binatang menyumbang apa yang dipunyai.

Di kala para hewan larut dalam acara makan-makan, kura-kura ditanya oleh Kebo. “Mengapa namanya Wedusan?”

“Wedus artinya ‘kambing’. Wedusan berarti pembendaan, hasil atau tempatwedus,” jawab kura.

Kebo yang volume otaknya saja yang besar hanya melenguh, seolah-olah berkata “Ooooh....”

Sedikit lebih cerdas, kelinci bertanya, “Ada apa dibalik ini semua, mbah? Jawablah berdasarkan pengalaman yang dilalui umurmu, hai kura-kura."

Sebut kura-kura, cara Kacangan melakukan ini adalah untuk mengukuhkan kedudukannya. Penamaan Wedusan adalah simbolisasi bahwa yang memiliki padepokan adalah kambing dan turunannya, atau setidaknya yang ada bau-bau prengus khas wedus.

Sementara itu, gelar yang disematkan di depan namanya adalah cara sakralisasi sosok Kacangan. Dia ingin menegaskan distingsi hierarkis antara dia dan yang lain.

“Sudahlah, mari kita ikut nimbrung bersama yang lain. Yang penting, semuanya berjalan lancar,” pungkas kura-kura.

Senin, 26 Januari 2015

JIKA PINTU MASJID TERKUNCI


Di banyak tempat, akhir-akhir ini, sejumlah masjid hanya dibuka ketika digelar shalat berjamaah lima waktu. Seusai jama’ah, pengurus buru-buru mengunci rapat-rapat, hanya disisakan emperan untuk tempat shalat.

ikut dikunci pula.

Artinya, secara tak langsung, masjid tak memberi ruang untuk orang shalat dhuha atau shalat isya yang terlambat, apalagi tahajud. Terutama bagi musafir dan orang miskin, masjid bukanlah tempat yang ramah seperti dulu.

Jika itu yang terjadi di masjid sekitar kita, setidaknya ada 3 sebab mengapa kunci pintu menjadi penghalang hamba-hamba Tuhan yang ingin munajat dengan itikaf atau shalat di tempat yang katanya rumah Tuhan tersebut:

1. Masjid gagal menebar rasa aman
Alasan paling klasik bagi masjid yang gemar mengunci pintunya adalah keamanan. Di situ ada karpet, mikrofon, mimbar dan lain-lain yang takut digondol maling. Jika alasannya ini, jelas hanya membuktikan bahwa masjid gagal melakukan pembinaan dan memberikan contoh bagaimana seharusnya berakhlakul karimah. Atau, pengurusnya malas menyimpan mikrofon dll di tempat yang aman.

Jika alasannya karena kebersihan, takut dimasuki hewan dan para pengotor lain, bukannya masjid cukup ditutup atau dikunci dengan tetap membiarkan kunci tersebut di pintu, sehingga semua orang punya akses ke ruang utama untuk melakukan berbagai ibadah. Sekaligus memberikan pembelajaran tentang disipilin, tangggungjawab dan kebersihan.

2. Mental Birokrasi
Masjid bukanlah kantor seorang pejabat yang ada jam pelayanannya. Allah tak pernah tidur. Oleh sebab itu, setiap saat, ada waktu bagi seorang untuk ibadah, dengan mengetuk kasih Allah di rumah-Nya. Mengapa orang harus dihalangi untuk beritikaf dan melakukan shalat-shalat tertentu?

Jelas, mental birokrasi yang hierarkis, struktural dan serba rumit khas negeri kita sedang menggelayuti pengurus masjid tersebut.

Jangan hanya ketika minta bantuan, menyebut masjid sebagai rumah Allah. Jika benar rumah Allah, tentu tiap saat hambaNya bisa masuk untuk memujaNya.

3. Egoisme merajalela
Semakin sering masjid dikunci, semakin tinggi pula tingkat egoisme pengurusnya. Masjid sebaiknya tidak dijadikan alat untuk unjuk kuasa melalui penguasaan kunci pintu dan aturan-aturan yang tak berpihak kepada para musafir dan orang-orang miskin.

Masjid seharusnya menjadi lembaga pelayanan, melayani siapun terutama orang-orang yang ingin ibadah karena memang tujuan didirikannya adalah untuk itu, bukan untuk melayani keinginan pengurus.

Sabtu, 24 Januari 2015

Guru dan Anggota DPR di Ironisia




1. Tukang ngetes tanpa pernah dites
Siapa yang tak tahu kinerja DPR soal urusan tes-mengetes: Kapolri,ketua KPK, Hakim Agung/MK/KY, Duta Besar dan masih banyak jabatan lain harusmelakukan uji kelayakan dan kepatutan di hadapan anggota dewan yang, katanya,terhormat itu.

Faktanya, emang tuh anggota DPR pernah melakukan tes-tesserupa? Gak pernah/mau dites kok kerjaannya ngetes orang. Bagaimanakevalidannya?!

Hal ini sama seperti guru. Di banyak institusi pendidikan,ada syarat-syarat tertentu bagi siswa untuk dapat lulus, misalnya skor TOEFLsekian. Lah, emang terhadap gurunya diberlakukan tes serupa? Atau,jangan-jangan gurunya juga gak sampai dengan batas minimum skor yang dibuatnyasendiri.

Quis, UTS, UAS, makalah, gak ketulung banyaknya jenis tesuntuk siswa di tiap semester. Gurunya? Tes apa untuk membuktikan bahwa diabenar-benar masih layak sebagai guru?

Terkadang ada tes evaluasi untuk guru, tapi nilainya siapayang tahu? Selanjutnya, hasil tes itu punya konsekwensi apa? Ora ono konsekwensiopo-opo.

Guru tak pernah dites (sebagai guru), lah kok kerjaannyangetes dan menentukan ini lulus itu tidak. Sebaiknya tidak perlu ngetes-ngetesorang jika tak mau dites. Supaya, kehidupan ini berjalan adil sesuai cita-citasemua agama.

Murid benar-benar tak terima tentang hal ini.

2. Hanya bicara kepentingan diri sendiri
Anggota DPR dapat amanat dari rakyat untuk mengurus urusanmereka, tapi yang diurus dan jadi topik pembicaraan hanya bagaimana wakiltersebut dapat bagian dari proyek ini-itu.

Guru? Setali tiga uang, sama saja. Orang tua dengan hatiyang tulus menyerahkan anaknya untuk didik para guru. Faktanya, guru hanyaribut bicara soal sertifikasi, kenaikan pangkat, dan proyek di luar jam mengajaryang menghasilkan uang.

Apakah tujuan pengajaran, cara mengajarkan pelajaran,bagaimana melejitkan potensi tiap siswa pernah jadi topik pembicaraan di mejaguru? Harus jadi guru untuk menjawab dengan tepat. Tapi, dengar-dengar,lihat-lihat  dan raba-raba sih tidak. 

Para guru dan anggota DPR di Indonesia, kalian tenang saja.Ini bukan guru dan anggota DPR di negara kalian. Jadi, gak usah pakai membeladiri, apalagi kebakaran jengot.

Ini hanya curhatan murid dari negara khayal Ironisia. Akutulis ulang barangkali ada kesamaan tokoh dan peristiwa, sehingga kita dapatmengambil pelajaran. Soalnya, Ironisia dan Indonesia mempunyai bunyi awal dansuku kata akhir yang sama.

Kamis, 22 Januari 2015

Berita busuk dari dunia pendidikan di negeri Ironisia seminggu terakhir:




1. Guru ilmu hukum sekaligus Wakil Dekan intip toilet wanita pakai kamera. Sanksinya dipecat dari kampus (bukan dicabut ijin mengajarnya, ya. Jadi, dia tetap bisa jadi guru di tempat lain di manapun).

2. Beberapa siswa SMA dipaksa buat surat pengunduran diri karena ngoceh di Facebook perihal diri mereka yang kerap dihukum karena telat. Padahal, guru2 juga hobi telat, tapi gak ada sanksi apa2.


Hampir tiap hari membaca berita buruk dari sekolah; Ada anak kelas 1 SD dikeroyok kakak kelas hingga buta; profesor nyabu bareng ayam kampus; dosen intip toilet cewek; gara-gara skripsi, mahasiswa tersiksa (dari depresi, bunuh diri, keguguran hingga wafat karena serangan jantung).

Sebenarnya yang dimaui sekolah itu apa? Sudah ngrampas waktu dan uang siswa, masih mau merampok keamanan dan nyawa pula.

Jika bisanya hanya memberi ijasah, ya berikan saja dengan cara transaksional yang jelas. Tinggal bilang sebutkan bayar berapa dan harus nunggu sampai kapan, biar transparan.
Gak usah sok bilang memberikan ilmu dan keahlian segala. Ujung-ujungnya jadi alat untuk melegitimasi rentetan proses dehumanisasi.

Hellllooooowwww,,,,,,, Para siswa..... Jangankan keburukan! Kamu lakukan hal baik sekalipun kalau singgung otoritas guru, ya pasti digebuk, digencet!!! Guru dilawan!!!
Berani macem2 kamu?! Aturan itu dibuat hanya untuk murid.

Gimana dengan guru? Gak perlu ada aturan. Makanya, disebut guru,,,, diGUyu mung ojo ditiRU (diketawain tapi jangan ditiru).

Ups!!! Yang jadi guru gak perlu tersinggung, yang jadi murid juga gak perlu sesali nasib. Santai aja, karena guru yang diGUyu mung ojo ditiRU itu hanya ada di negara Ironisia, bukan Indonesia loh!

Di Indonesia, Guru itu digugu dan ditiru ‘didengar dan diteladani’. Tapi, aku galau juga; emang apanya yang harus didengar? Terus, sisi mana yang bisa ditiru?

Cerita Seorang Guru di Ironisia



Guru harus menjadi arsitek yang membangun jembatan bagi siswanya menuju masa depan. Bukan sebaliknya, mengayuh roda menyorong siswanya ke belakang dengan berulang-ulang mengatakan,”dulu di jaman saya, dulu guru saya, dulu waktu saya sekolah, dulu,,, dulu,,, dulu,” terlalu percaya diri mengatakan bahwa masa lalu lebih baik dari sekarang.

Padahal, semua tahu kalau masa kini adalah kreasi masa lalu. Saat ini semua mafhum indeks pembangunan manusia negara ini terpuruk. Tentu, kesalahan secara sistemik ada di masa lalu karena para pemangku kebijakan adalah produk di era itu.

Untuk menghadapi guru tipe tersebut, siswa lebih baik diam dan menutup telinga, karena jika bicara, malah akan dijerumuskan, dibenamkan lebih dalam ke belakang.

Jika guru buta dengan masa depan, siswa lebih baik fokus dengan masa kini sambil secara inovatif melihat jauh ke depan, memprediksi sendiri apa yang bakal terjadi dan strategi apa yang harus disiapkan.

Eufimisme Para Pendoa dan Respon Malaikat



Pendoa: Tuhan,,,, dekatkanlah jodohku. Aku ingin segera menggenapi perintah agamaMu ...

Malaikat: Halah,,,, bilang aja dah ngebet pengen seks!

Pendoa: Tuhan,,, catatlah di sisiMu semua amal baikku. Curahkan pahala untukku...

Malaikat: Buat apa dicatat lagi?! Bukannya kamu sudah mencatatnya di wall FB, twitter dan memuat gambarnya di semua medsos? Minta pahala sana sama kenarsisanmu!

Pendoa: Ihhh,,,, malaikat, gitu bingitz ngomongnya?!

Malaikat: Hai,,,, pendoa. Aku lebih membaca hati dan sikap ketimbang ucapanmu.

Eufimisme Paling Manipulatif di IRONISIA





Salah satu ungkapan eufimistis paling berhasil memanipulasi adalah “Abdi Rakyat”. Frase ini sering dipakai untuk menggantikan kata PNS (Pegawai Negara Saya).

Betapa tidak?! Abdi bermakna ‘hamba’ atau ‘pelayan’. Nyatanya, komposisi PNS hanya 2% tapi menghabiskan 66,67 % dari APBN untuk mengenyangkan perut gendut mereka.

Artinya, jika keluarga besar kita terdiri dari 100 orang dan kita punya 2 pelayan, lalu 66.67% dari belanja keluarga digunakan untuk menggaji 2 pelayan tersebut. Apa mungkin ada orang setolol itu?!
Nyatanya ada. Maka wajar, majikannya kurus, melarat, miskin, bodoh! Namanya juga majikan bohong-bohongan.

66,67 % pun tak cukup. Semua juga tahu, kalau 20—40% dari sisa anggaran belanja,33,33%, juga dikorup oleh abdi bohong2an tersebut!

Dari sisi pengamat bahasa, aku salut terhadap keberhasilan eufimisme yang satu ini. Yang dibuat dari, oleh dan untuk yang berkepentingan.

Kamus Laras Bahasa di Perguruan Tinggi di negeri Ironisia




Istilah dan contoh dalam kamus laras bahasa ini dikutip dari Kamus Laras Bahasa Perguruan Tinggi di negeri khayal Ironisia. Jika ada kesamaan makna, deskripsi dan peristiwa dengan yg terjadi di Indonesia, itu hanya kebetulan semata, tak ada niat untuk mendosenkan atau memahasiswakansiapapun.

Birokrasi. N. Sistem yg berpegang pd hierarki struktural: ~ di kampus ini, yg bs dipersulit mengapa hrs dimudahkan?
                -Birokratif, Birokratis. adj. bersifat mempersulit: Jangan ~, dong!
                -Mem~kan. V(T). mempersulit, memperumit, menghambat: Dia terbiasa ~ sgala urusan.
                -Di~kan, dibirokrasiin.V(T). dipersulit, dihambat: Wah, gw ~ nih.
                -Birokrat. N. Orang yg hobinya mempersulit org lain. Sabar, ya, dia memang ~.

Dosen. N. pengajar di perguruan tinggi: ~ satu itu sombong dan gaje banget!
               -Ndosen. V (I). menyebalkan: Hei, lu jangan ~, ya!
               -Me~kan, Ndosenin. V(T). membuat org lain merasa kesal:Sebelum gw gaplok, lu berhenti ~ gw dr skrg, y!

Espe. N. SP (semester pendek), penggati kuliah reguler. Kasih nilai yg rendah ja, agar mahasiswa nanti ikut ~. Lumayan, ada kerjaan saat libur semester.
                2.Espe.V (T). memalak, memaksa org lain memberikan uang: Biar gw yg ~, ya?
                -Diespein. V (T). Dipalakin, dipaksa memberikan uang: Tragis, gw ~ sama preman kampus.

Kampus. N.  perguruan tinggi; atau, daerah, lingkungan dan bangunan universitas: Ibarat gedung, ~ gw tuh gotnya.
               -Ngampus. V (I). terjerembab/terjerumus di tempat yg tak diharapkan/mengenakkan: Hadeuh kasian, dia stress karena hrs ~.
              -Kampusin. V (T). membuat org lain terjerumus: Kita ~ dia skrg, yuk!
              -Ngampusin. V (T): menjerumuskan/mencelakakan: Dia tega ~ kawan sendiri.

Kuliah. N. pelajaran di universitas: Tugas ~ gw segunung, tapi gak pernah tuh dikoreksi sm dosennya.
              -Nguliah. V (I). menerima beban sgt berat. Ya Allah, kuatkan aq saat sedang ~ spt ini.
              -Nguliahin. V (T). memberikan pekerjaan yg nyiksa banget: Sebagai majikan, kita harus pinter2 ~ karyawan qt.
              -Kuliahin. V(T). memberikan pekerjaan yg nyiksa banget: ~ aja dia biar kapokSbg mahasiswa, qt lebih sering di~ sama dosen drpd   dibimbing.

Mahasiswa. N. pelajar di universitas: Salah satu tugas utama ~ sekarang tuh jadi juru keplok (tepuk tangan) gratis pd acara-acara live di TV.
                2. Mahasiswa. Adj. Lugu (culun, guoblok), tak berpangalaman: ~ banget sih lu jd org!
                -Di~kan. V. dimanfaatkan, dibuat jadi culun: Lu jgn mau ~ sama doi.
                -Me~kan, Mahasiswain. V (T). memanfaatkan org lain utk kepentingan pribadi, membuat org lain tampak bodoh: Kata pimpinan gw, “sebagai dosen, kita harus bisa ~ anak didik kita, terutama bwt nyari uang sambetan.”

Makalah. N. karya tulis ilmiah: Ngapain susah2 bikin silabus dan SAP, mahasiswa ja suruh bikin ~ dan presentasi, beres. Kita tinggal BAB (Basa-basi, Absen, Bengong)!
                -Me~kan, Makalahin. V (T). mengabaikan, tak mempedulikan:Keterlaluan tuh dosen ~ qt. Pdhl, dia sndiri yg suruh qt dtg jm sgini.
                -Dimakalahin. V T). diabaikan, dicuekin: Ampun deh, skripsi gw ~. Pdhl, dah lbh dr sebulan tuh dosen nyuruh naruh di lokernya.

MAAF di negeri ironisia




Doa, maafkan aku yang tak bisa merangkai kata indah seperti orang Arab;
Maaf, maafkan aku jika terlalu sering menyebutmu untuk hal-hal yang seharusnya tak perlu;
Cinta, maafkan aku yang tak pandai menggungkapkan dan menggunakanmu;
Kerja, maafkan aku yang sering lalai sehingga pendapatanku tak halal;

Guru, maafkan atas harapanku yang terlalu besar kepadamu;
Murid, maafkan aku yang malas memperkaya ilmu;
Sahabat, maafkan aku yang kerap menyakiti hatimu;

Alam, maafkan aku yang kurang menjagamu;
Binatang, maafkan aku karena sering menganiayamu;
Manusia, maafkan aku yang kurang memberi manfaat;

Jin, maafkan aku jika kerap mengusik ketentraman alammu;
Iblis, maafkan aku yang tak memberikan perlawanan sepadan;
Malaikat, maafkan aku yang membuatmu terlalu sibuk mencatat keburukanku;
Allah, kumaafkan semua yang bersalah kepadaku, maka ampuni aku.

TANYA dan JAWAB






Proses paling mengesankan dalam pendidikan adalah jika dilakukan seperti dialog seorang anak kecil dan ibunya. Sang ibu tak pernah bosan menjawab tanyaan anak yang berulang-ulang sampai si kecil paham. Sang anak pun tak pernah cangung bertanya hal paling kecil sekalipun.

Sayangnya, di kelas, jika murid menanyakan perkara yang dianggap sepele, dia segera diolok beramai-ramai. Maka, murid memilih diam.

Guru juga lebih sering menampakkan muka cuek atau garang supaya muridnya canggung untuk bertanya. Dia lebih suka muridnya terkesima dengan tampilan, prestasi dan jabatannya ketimbang dengan jawaban2nya.

Situasi seperti ini membuat pendidikan terhenti, karena maqam MURID diukur dengan TANYAANnya dan GURU dengan JAWABANnya.

Bagi siswa yang masih niat belajar, dia harus mati-matian berburu ilmu di tempat lain, dengan guru kehidupan. Bagi guru yang menghadapi murid yang bisu, sebaiknya dia mengehentikan pengajaran dan beralih ke pelajaran tentang cara bertanya.

KEPADA PARA PERUMIT DI NEGERI IRONISIA


Perkara mempersulit terjadi di banyak tempat di negeri Ironisia. Juaranya adalah para birokrat, runner-upnya adalah guru kepada murid. Padahal, di saat yang sama, mereka mengaku beragama.
Tuhan menegaskan, “Allah menghendaki untuk kalian kemudahan, dan Dia tak menghendaki bagi kalian kesukaran,” (al-Baqarah:185).

Ini adalah salah satu dasar syariat dalam beribadah (juga bermuamalah). Namun, banyak orang mengedepankan kesukaran dan kesempitan bagi orang lain, yang tujuan utamanya hanya untuk menunjukkan bahwa banyak hal tergantung pada dirinya. Dengan kata lain, dia hendak menyemprot, "Tau gak kalo gue ini orang penting!?"

Hendaknya orang-orang seperti ini melihat pengertian takwa paling asasi—sebagai parameter kemuliaan seorang yang beragama—menurut salah seorang ulama, yakni ‘peneladanan sifat2 Allah’, yang salah satunya adalah mempermudah segala urusan tadi.

Kata Rasulullah, “Siapa yang mempermudah orang yang kesulitan, Allah akan menggampangkannya di dunia dan akhirat,” (HR. Muslim)
Setidaknya, jika tak bisa ikhlas ingin mensukseskan urusan orang lain, ada baiknya mempermudah untuk kepentingan pribadi kelak di hari akhir.
Yang pekerjaannya di birokrasi dan mengajar tak perlu sewot, kecuali pelaku. Lagipula, ini hanya terjadi di negeri Ironisia.

BEDA SEKOLAH DAN PENDIDIKAN di Negeri IRONISIA




1.Sekolah memenjara ide-ide cemerlang siswa, pendidikan membebaskan jiwa.

2.Sekolah memaksa kita diam, pendidikan membuat kita berani buka suara.

3.Sekolah mengharuskan kita menghafal kosakata, pendidikan membuat kita sanggup bicara.

4.Sekolah merampok uang siswa, pendidikan membuat kita mudah cari uang.

5.Sekolah mengajarkan taat pada aturan akademik, pendidikan ajarkan kita untuk hidup.

6.Sekolah dikendalikan orang-orang yang sakit jiwa, pendidikan membuat kita lebih waras.

7.Sekolah meremehkan guru-guru yang berbakat, pendidikan memuliakan para pemilik ilmu.

8.Sekolah tak membuat kita menjadi terdidik, pendidikan menjadikan kita manusia seutuhnya.

9.Sekolah membuat murid merasa bodoh, pendidikan membuat kita tercerahkan.

10.Sekolah ajarkan pengetahuan untuk jawab soal ujian, pendidikan ajarkan ilmu untuk hidup.