Kamis, 29 Januari 2015

NYANYI CEPAT ATAU NGAJI ENAK?





Suatu hari Saya mengaji dengan tempo cepat. Aku yang ada di sampingnya mengingatkan, “Hei, cepet banget ngajinya?! Pelan-pelan, dong, dibaca dengan hidmat gituloh, biar enak.”
Saya dengan santai menjawab, “Biar cepat khatam!”

Lain waktu, Saya menyanyikan lagu berirama jaz dengan tempo pelan. Di tengah usaha memiripkan kualitas suara laiknya penyanyi asli, Aku kembali berseloroh, “Gak usah dienak-enakin gitu. Pakai tempo rap aja biar cepat selesai, 5 menit bisa 5 lagu!”
“Apaan!? Ya gak enak dong, masa nyanyi harus buru-buru?!,” balas Saya.
Saya ingin kalau ngaji cepat-cepat biar lekas khatam, tapi kalau nyanyi ya dengan tartil supaya mudah meresapi makna dan menghayati kreasi tona serta keindahan suara yang Saya hasilkan.

Namun, Aku selalu turut campur urusan Saya. Padahal, Aku sendiri paling senang mengaku-aku. Bisa jadi, Aku hanya pandai menasehati, tapi mengaji atau menyanyi sebait saja jarang-jarang.

BATAS KITA DAN YANG LAIN





Batas kita dengan orang lain yang paling distingtif adalah KECERDASAN. Kecerdasan dimaksud adalah paduan antara kecerdasan kognitif dan emosional.

Jika hanya punya kecerdasan kognitif, kita hanya akan jadi orang pintar yang tanpa perasaan. Orang jenis ini sangat rawan melakukan sabotase terhadap kebenaran dan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Jika terlalu mengandalkan kecerdasan emosional, banyak tujuan akan terbengkalai karena tak didasari pada argumen-argumen logis dan analitis yang memadai.

Dua kecerdasan ini akan menegaskan kita sebagai apa dan siapa, yang secara otomatis bakal membuat kita serupa dengan atau lain dari yang lain.

Secara ringkas, jika harus mendefinisikan siapa kita, jawaban sederhananya adalah level kecerdasan yang kita miliki. Kecerdasan ini akan mendudukkan atau menyingkirkan kita dari orang lain.

Kambing Kacangan Kukuhkan Kedudukan (2)




Setelah melihat padepokan penuh anak murid yang belajar, Kambing Kacangan memandang perlu melakukan perluasan. Begitu ide mulia disampaikan, margasatwa berbondong-bondong membantu.

Burung Manyar menganyam janur untuk atap; Rayap dan Semut kompak gotong-royong infakkan ludahnya sebagai semen untuk pondasi; Dengan kakinya, Kebo dan Sapi mengaduk adonan tanah liat bercampur kotorannya untuk lantai dan dinding; Burung Pelatuk penuh gairah memfungsikan paruhnya sebagai bor; dan kawanan Monyet urun tenaga menjadi tukang.

Segera, bangunan baru berdiri. Melihat besar dan megahnya padepokan, Kambing Kacangan merasa ada yang kurang.

“Kita harus memberinya nama, supaya gampang disebut,” katanya, yang diiyakan oleh seluruh binatang.

Tanpa ada sanggahan dari siapapun, Kambing Kacangan menamainya Padepokan Wedusan. Di saat yang sama, binatang diajari untuk memanggilnya Kiai Kacangan. Dia diceritakan bahwa di sebuah kerajaan di Jawa, Kebo mendapatkan nama indah dan gelar kiai.

Kenduri digelar sebagai acara syukuran berdirinya bangunan baru sekaligus selametan pemberian nama.

Lebah menyumbangkan madu untuk pemanis minuman. Tikus berbagi gabah, yang dicurinya dari sawah petani. Landak menyumbang buah. Kelinci menyediakan sayuran.   Masing-masing binatang menyumbang apa yang dipunyai.

Di kala para hewan larut dalam acara makan-makan, kura-kura ditanya oleh Kebo. “Mengapa namanya Wedusan?”

“Wedus artinya ‘kambing’. Wedusan berarti pembendaan, hasil atau tempatwedus,” jawab kura.

Kebo yang volume otaknya saja yang besar hanya melenguh, seolah-olah berkata “Ooooh....”

Sedikit lebih cerdas, kelinci bertanya, “Ada apa dibalik ini semua, mbah? Jawablah berdasarkan pengalaman yang dilalui umurmu, hai kura-kura."

Sebut kura-kura, cara Kacangan melakukan ini adalah untuk mengukuhkan kedudukannya. Penamaan Wedusan adalah simbolisasi bahwa yang memiliki padepokan adalah kambing dan turunannya, atau setidaknya yang ada bau-bau prengus khas wedus.

Sementara itu, gelar yang disematkan di depan namanya adalah cara sakralisasi sosok Kacangan. Dia ingin menegaskan distingsi hierarkis antara dia dan yang lain.

“Sudahlah, mari kita ikut nimbrung bersama yang lain. Yang penting, semuanya berjalan lancar,” pungkas kura-kura.

Senin, 26 Januari 2015

JIKA PINTU MASJID TERKUNCI


Di banyak tempat, akhir-akhir ini, sejumlah masjid hanya dibuka ketika digelar shalat berjamaah lima waktu. Seusai jama’ah, pengurus buru-buru mengunci rapat-rapat, hanya disisakan emperan untuk tempat shalat.

ikut dikunci pula.

Artinya, secara tak langsung, masjid tak memberi ruang untuk orang shalat dhuha atau shalat isya yang terlambat, apalagi tahajud. Terutama bagi musafir dan orang miskin, masjid bukanlah tempat yang ramah seperti dulu.

Jika itu yang terjadi di masjid sekitar kita, setidaknya ada 3 sebab mengapa kunci pintu menjadi penghalang hamba-hamba Tuhan yang ingin munajat dengan itikaf atau shalat di tempat yang katanya rumah Tuhan tersebut:

1. Masjid gagal menebar rasa aman
Alasan paling klasik bagi masjid yang gemar mengunci pintunya adalah keamanan. Di situ ada karpet, mikrofon, mimbar dan lain-lain yang takut digondol maling. Jika alasannya ini, jelas hanya membuktikan bahwa masjid gagal melakukan pembinaan dan memberikan contoh bagaimana seharusnya berakhlakul karimah. Atau, pengurusnya malas menyimpan mikrofon dll di tempat yang aman.

Jika alasannya karena kebersihan, takut dimasuki hewan dan para pengotor lain, bukannya masjid cukup ditutup atau dikunci dengan tetap membiarkan kunci tersebut di pintu, sehingga semua orang punya akses ke ruang utama untuk melakukan berbagai ibadah. Sekaligus memberikan pembelajaran tentang disipilin, tangggungjawab dan kebersihan.

2. Mental Birokrasi
Masjid bukanlah kantor seorang pejabat yang ada jam pelayanannya. Allah tak pernah tidur. Oleh sebab itu, setiap saat, ada waktu bagi seorang untuk ibadah, dengan mengetuk kasih Allah di rumah-Nya. Mengapa orang harus dihalangi untuk beritikaf dan melakukan shalat-shalat tertentu?

Jelas, mental birokrasi yang hierarkis, struktural dan serba rumit khas negeri kita sedang menggelayuti pengurus masjid tersebut.

Jangan hanya ketika minta bantuan, menyebut masjid sebagai rumah Allah. Jika benar rumah Allah, tentu tiap saat hambaNya bisa masuk untuk memujaNya.

3. Egoisme merajalela
Semakin sering masjid dikunci, semakin tinggi pula tingkat egoisme pengurusnya. Masjid sebaiknya tidak dijadikan alat untuk unjuk kuasa melalui penguasaan kunci pintu dan aturan-aturan yang tak berpihak kepada para musafir dan orang-orang miskin.

Masjid seharusnya menjadi lembaga pelayanan, melayani siapun terutama orang-orang yang ingin ibadah karena memang tujuan didirikannya adalah untuk itu, bukan untuk melayani keinginan pengurus.

Sabtu, 24 Januari 2015

Guru dan Anggota DPR di Ironisia




1. Tukang ngetes tanpa pernah dites
Siapa yang tak tahu kinerja DPR soal urusan tes-mengetes: Kapolri,ketua KPK, Hakim Agung/MK/KY, Duta Besar dan masih banyak jabatan lain harusmelakukan uji kelayakan dan kepatutan di hadapan anggota dewan yang, katanya,terhormat itu.

Faktanya, emang tuh anggota DPR pernah melakukan tes-tesserupa? Gak pernah/mau dites kok kerjaannya ngetes orang. Bagaimanakevalidannya?!

Hal ini sama seperti guru. Di banyak institusi pendidikan,ada syarat-syarat tertentu bagi siswa untuk dapat lulus, misalnya skor TOEFLsekian. Lah, emang terhadap gurunya diberlakukan tes serupa? Atau,jangan-jangan gurunya juga gak sampai dengan batas minimum skor yang dibuatnyasendiri.

Quis, UTS, UAS, makalah, gak ketulung banyaknya jenis tesuntuk siswa di tiap semester. Gurunya? Tes apa untuk membuktikan bahwa diabenar-benar masih layak sebagai guru?

Terkadang ada tes evaluasi untuk guru, tapi nilainya siapayang tahu? Selanjutnya, hasil tes itu punya konsekwensi apa? Ora ono konsekwensiopo-opo.

Guru tak pernah dites (sebagai guru), lah kok kerjaannyangetes dan menentukan ini lulus itu tidak. Sebaiknya tidak perlu ngetes-ngetesorang jika tak mau dites. Supaya, kehidupan ini berjalan adil sesuai cita-citasemua agama.

Murid benar-benar tak terima tentang hal ini.

2. Hanya bicara kepentingan diri sendiri
Anggota DPR dapat amanat dari rakyat untuk mengurus urusanmereka, tapi yang diurus dan jadi topik pembicaraan hanya bagaimana wakiltersebut dapat bagian dari proyek ini-itu.

Guru? Setali tiga uang, sama saja. Orang tua dengan hatiyang tulus menyerahkan anaknya untuk didik para guru. Faktanya, guru hanyaribut bicara soal sertifikasi, kenaikan pangkat, dan proyek di luar jam mengajaryang menghasilkan uang.

Apakah tujuan pengajaran, cara mengajarkan pelajaran,bagaimana melejitkan potensi tiap siswa pernah jadi topik pembicaraan di mejaguru? Harus jadi guru untuk menjawab dengan tepat. Tapi, dengar-dengar,lihat-lihat  dan raba-raba sih tidak. 

Para guru dan anggota DPR di Indonesia, kalian tenang saja.Ini bukan guru dan anggota DPR di negara kalian. Jadi, gak usah pakai membeladiri, apalagi kebakaran jengot.

Ini hanya curhatan murid dari negara khayal Ironisia. Akutulis ulang barangkali ada kesamaan tokoh dan peristiwa, sehingga kita dapatmengambil pelajaran. Soalnya, Ironisia dan Indonesia mempunyai bunyi awal dansuku kata akhir yang sama.

Kamis, 22 Januari 2015

Berita busuk dari dunia pendidikan di negeri Ironisia seminggu terakhir:




1. Guru ilmu hukum sekaligus Wakil Dekan intip toilet wanita pakai kamera. Sanksinya dipecat dari kampus (bukan dicabut ijin mengajarnya, ya. Jadi, dia tetap bisa jadi guru di tempat lain di manapun).

2. Beberapa siswa SMA dipaksa buat surat pengunduran diri karena ngoceh di Facebook perihal diri mereka yang kerap dihukum karena telat. Padahal, guru2 juga hobi telat, tapi gak ada sanksi apa2.


Hampir tiap hari membaca berita buruk dari sekolah; Ada anak kelas 1 SD dikeroyok kakak kelas hingga buta; profesor nyabu bareng ayam kampus; dosen intip toilet cewek; gara-gara skripsi, mahasiswa tersiksa (dari depresi, bunuh diri, keguguran hingga wafat karena serangan jantung).

Sebenarnya yang dimaui sekolah itu apa? Sudah ngrampas waktu dan uang siswa, masih mau merampok keamanan dan nyawa pula.

Jika bisanya hanya memberi ijasah, ya berikan saja dengan cara transaksional yang jelas. Tinggal bilang sebutkan bayar berapa dan harus nunggu sampai kapan, biar transparan.
Gak usah sok bilang memberikan ilmu dan keahlian segala. Ujung-ujungnya jadi alat untuk melegitimasi rentetan proses dehumanisasi.

Hellllooooowwww,,,,,,, Para siswa..... Jangankan keburukan! Kamu lakukan hal baik sekalipun kalau singgung otoritas guru, ya pasti digebuk, digencet!!! Guru dilawan!!!
Berani macem2 kamu?! Aturan itu dibuat hanya untuk murid.

Gimana dengan guru? Gak perlu ada aturan. Makanya, disebut guru,,,, diGUyu mung ojo ditiRU (diketawain tapi jangan ditiru).

Ups!!! Yang jadi guru gak perlu tersinggung, yang jadi murid juga gak perlu sesali nasib. Santai aja, karena guru yang diGUyu mung ojo ditiRU itu hanya ada di negara Ironisia, bukan Indonesia loh!

Di Indonesia, Guru itu digugu dan ditiru ‘didengar dan diteladani’. Tapi, aku galau juga; emang apanya yang harus didengar? Terus, sisi mana yang bisa ditiru?

Cerita Seorang Guru di Ironisia



Guru harus menjadi arsitek yang membangun jembatan bagi siswanya menuju masa depan. Bukan sebaliknya, mengayuh roda menyorong siswanya ke belakang dengan berulang-ulang mengatakan,”dulu di jaman saya, dulu guru saya, dulu waktu saya sekolah, dulu,,, dulu,,, dulu,” terlalu percaya diri mengatakan bahwa masa lalu lebih baik dari sekarang.

Padahal, semua tahu kalau masa kini adalah kreasi masa lalu. Saat ini semua mafhum indeks pembangunan manusia negara ini terpuruk. Tentu, kesalahan secara sistemik ada di masa lalu karena para pemangku kebijakan adalah produk di era itu.

Untuk menghadapi guru tipe tersebut, siswa lebih baik diam dan menutup telinga, karena jika bicara, malah akan dijerumuskan, dibenamkan lebih dalam ke belakang.

Jika guru buta dengan masa depan, siswa lebih baik fokus dengan masa kini sambil secara inovatif melihat jauh ke depan, memprediksi sendiri apa yang bakal terjadi dan strategi apa yang harus disiapkan.

Eufimisme Para Pendoa dan Respon Malaikat



Pendoa: Tuhan,,,, dekatkanlah jodohku. Aku ingin segera menggenapi perintah agamaMu ...

Malaikat: Halah,,,, bilang aja dah ngebet pengen seks!

Pendoa: Tuhan,,, catatlah di sisiMu semua amal baikku. Curahkan pahala untukku...

Malaikat: Buat apa dicatat lagi?! Bukannya kamu sudah mencatatnya di wall FB, twitter dan memuat gambarnya di semua medsos? Minta pahala sana sama kenarsisanmu!

Pendoa: Ihhh,,,, malaikat, gitu bingitz ngomongnya?!

Malaikat: Hai,,,, pendoa. Aku lebih membaca hati dan sikap ketimbang ucapanmu.

Eufimisme Paling Manipulatif di IRONISIA





Salah satu ungkapan eufimistis paling berhasil memanipulasi adalah “Abdi Rakyat”. Frase ini sering dipakai untuk menggantikan kata PNS (Pegawai Negara Saya).

Betapa tidak?! Abdi bermakna ‘hamba’ atau ‘pelayan’. Nyatanya, komposisi PNS hanya 2% tapi menghabiskan 66,67 % dari APBN untuk mengenyangkan perut gendut mereka.

Artinya, jika keluarga besar kita terdiri dari 100 orang dan kita punya 2 pelayan, lalu 66.67% dari belanja keluarga digunakan untuk menggaji 2 pelayan tersebut. Apa mungkin ada orang setolol itu?!
Nyatanya ada. Maka wajar, majikannya kurus, melarat, miskin, bodoh! Namanya juga majikan bohong-bohongan.

66,67 % pun tak cukup. Semua juga tahu, kalau 20—40% dari sisa anggaran belanja,33,33%, juga dikorup oleh abdi bohong2an tersebut!

Dari sisi pengamat bahasa, aku salut terhadap keberhasilan eufimisme yang satu ini. Yang dibuat dari, oleh dan untuk yang berkepentingan.

Kamus Laras Bahasa di Perguruan Tinggi di negeri Ironisia




Istilah dan contoh dalam kamus laras bahasa ini dikutip dari Kamus Laras Bahasa Perguruan Tinggi di negeri khayal Ironisia. Jika ada kesamaan makna, deskripsi dan peristiwa dengan yg terjadi di Indonesia, itu hanya kebetulan semata, tak ada niat untuk mendosenkan atau memahasiswakansiapapun.

Birokrasi. N. Sistem yg berpegang pd hierarki struktural: ~ di kampus ini, yg bs dipersulit mengapa hrs dimudahkan?
                -Birokratif, Birokratis. adj. bersifat mempersulit: Jangan ~, dong!
                -Mem~kan. V(T). mempersulit, memperumit, menghambat: Dia terbiasa ~ sgala urusan.
                -Di~kan, dibirokrasiin.V(T). dipersulit, dihambat: Wah, gw ~ nih.
                -Birokrat. N. Orang yg hobinya mempersulit org lain. Sabar, ya, dia memang ~.

Dosen. N. pengajar di perguruan tinggi: ~ satu itu sombong dan gaje banget!
               -Ndosen. V (I). menyebalkan: Hei, lu jangan ~, ya!
               -Me~kan, Ndosenin. V(T). membuat org lain merasa kesal:Sebelum gw gaplok, lu berhenti ~ gw dr skrg, y!

Espe. N. SP (semester pendek), penggati kuliah reguler. Kasih nilai yg rendah ja, agar mahasiswa nanti ikut ~. Lumayan, ada kerjaan saat libur semester.
                2.Espe.V (T). memalak, memaksa org lain memberikan uang: Biar gw yg ~, ya?
                -Diespein. V (T). Dipalakin, dipaksa memberikan uang: Tragis, gw ~ sama preman kampus.

Kampus. N.  perguruan tinggi; atau, daerah, lingkungan dan bangunan universitas: Ibarat gedung, ~ gw tuh gotnya.
               -Ngampus. V (I). terjerembab/terjerumus di tempat yg tak diharapkan/mengenakkan: Hadeuh kasian, dia stress karena hrs ~.
              -Kampusin. V (T). membuat org lain terjerumus: Kita ~ dia skrg, yuk!
              -Ngampusin. V (T): menjerumuskan/mencelakakan: Dia tega ~ kawan sendiri.

Kuliah. N. pelajaran di universitas: Tugas ~ gw segunung, tapi gak pernah tuh dikoreksi sm dosennya.
              -Nguliah. V (I). menerima beban sgt berat. Ya Allah, kuatkan aq saat sedang ~ spt ini.
              -Nguliahin. V (T). memberikan pekerjaan yg nyiksa banget: Sebagai majikan, kita harus pinter2 ~ karyawan qt.
              -Kuliahin. V(T). memberikan pekerjaan yg nyiksa banget: ~ aja dia biar kapokSbg mahasiswa, qt lebih sering di~ sama dosen drpd   dibimbing.

Mahasiswa. N. pelajar di universitas: Salah satu tugas utama ~ sekarang tuh jadi juru keplok (tepuk tangan) gratis pd acara-acara live di TV.
                2. Mahasiswa. Adj. Lugu (culun, guoblok), tak berpangalaman: ~ banget sih lu jd org!
                -Di~kan. V. dimanfaatkan, dibuat jadi culun: Lu jgn mau ~ sama doi.
                -Me~kan, Mahasiswain. V (T). memanfaatkan org lain utk kepentingan pribadi, membuat org lain tampak bodoh: Kata pimpinan gw, “sebagai dosen, kita harus bisa ~ anak didik kita, terutama bwt nyari uang sambetan.”

Makalah. N. karya tulis ilmiah: Ngapain susah2 bikin silabus dan SAP, mahasiswa ja suruh bikin ~ dan presentasi, beres. Kita tinggal BAB (Basa-basi, Absen, Bengong)!
                -Me~kan, Makalahin. V (T). mengabaikan, tak mempedulikan:Keterlaluan tuh dosen ~ qt. Pdhl, dia sndiri yg suruh qt dtg jm sgini.
                -Dimakalahin. V T). diabaikan, dicuekin: Ampun deh, skripsi gw ~. Pdhl, dah lbh dr sebulan tuh dosen nyuruh naruh di lokernya.

MAAF di negeri ironisia




Doa, maafkan aku yang tak bisa merangkai kata indah seperti orang Arab;
Maaf, maafkan aku jika terlalu sering menyebutmu untuk hal-hal yang seharusnya tak perlu;
Cinta, maafkan aku yang tak pandai menggungkapkan dan menggunakanmu;
Kerja, maafkan aku yang sering lalai sehingga pendapatanku tak halal;

Guru, maafkan atas harapanku yang terlalu besar kepadamu;
Murid, maafkan aku yang malas memperkaya ilmu;
Sahabat, maafkan aku yang kerap menyakiti hatimu;

Alam, maafkan aku yang kurang menjagamu;
Binatang, maafkan aku karena sering menganiayamu;
Manusia, maafkan aku yang kurang memberi manfaat;

Jin, maafkan aku jika kerap mengusik ketentraman alammu;
Iblis, maafkan aku yang tak memberikan perlawanan sepadan;
Malaikat, maafkan aku yang membuatmu terlalu sibuk mencatat keburukanku;
Allah, kumaafkan semua yang bersalah kepadaku, maka ampuni aku.

TANYA dan JAWAB






Proses paling mengesankan dalam pendidikan adalah jika dilakukan seperti dialog seorang anak kecil dan ibunya. Sang ibu tak pernah bosan menjawab tanyaan anak yang berulang-ulang sampai si kecil paham. Sang anak pun tak pernah cangung bertanya hal paling kecil sekalipun.

Sayangnya, di kelas, jika murid menanyakan perkara yang dianggap sepele, dia segera diolok beramai-ramai. Maka, murid memilih diam.

Guru juga lebih sering menampakkan muka cuek atau garang supaya muridnya canggung untuk bertanya. Dia lebih suka muridnya terkesima dengan tampilan, prestasi dan jabatannya ketimbang dengan jawaban2nya.

Situasi seperti ini membuat pendidikan terhenti, karena maqam MURID diukur dengan TANYAANnya dan GURU dengan JAWABANnya.

Bagi siswa yang masih niat belajar, dia harus mati-matian berburu ilmu di tempat lain, dengan guru kehidupan. Bagi guru yang menghadapi murid yang bisu, sebaiknya dia mengehentikan pengajaran dan beralih ke pelajaran tentang cara bertanya.

KEPADA PARA PERUMIT DI NEGERI IRONISIA


Perkara mempersulit terjadi di banyak tempat di negeri Ironisia. Juaranya adalah para birokrat, runner-upnya adalah guru kepada murid. Padahal, di saat yang sama, mereka mengaku beragama.
Tuhan menegaskan, “Allah menghendaki untuk kalian kemudahan, dan Dia tak menghendaki bagi kalian kesukaran,” (al-Baqarah:185).

Ini adalah salah satu dasar syariat dalam beribadah (juga bermuamalah). Namun, banyak orang mengedepankan kesukaran dan kesempitan bagi orang lain, yang tujuan utamanya hanya untuk menunjukkan bahwa banyak hal tergantung pada dirinya. Dengan kata lain, dia hendak menyemprot, "Tau gak kalo gue ini orang penting!?"

Hendaknya orang-orang seperti ini melihat pengertian takwa paling asasi—sebagai parameter kemuliaan seorang yang beragama—menurut salah seorang ulama, yakni ‘peneladanan sifat2 Allah’, yang salah satunya adalah mempermudah segala urusan tadi.

Kata Rasulullah, “Siapa yang mempermudah orang yang kesulitan, Allah akan menggampangkannya di dunia dan akhirat,” (HR. Muslim)
Setidaknya, jika tak bisa ikhlas ingin mensukseskan urusan orang lain, ada baiknya mempermudah untuk kepentingan pribadi kelak di hari akhir.
Yang pekerjaannya di birokrasi dan mengajar tak perlu sewot, kecuali pelaku. Lagipula, ini hanya terjadi di negeri Ironisia.

BEDA SEKOLAH DAN PENDIDIKAN di Negeri IRONISIA




1.Sekolah memenjara ide-ide cemerlang siswa, pendidikan membebaskan jiwa.

2.Sekolah memaksa kita diam, pendidikan membuat kita berani buka suara.

3.Sekolah mengharuskan kita menghafal kosakata, pendidikan membuat kita sanggup bicara.

4.Sekolah merampok uang siswa, pendidikan membuat kita mudah cari uang.

5.Sekolah mengajarkan taat pada aturan akademik, pendidikan ajarkan kita untuk hidup.

6.Sekolah dikendalikan orang-orang yang sakit jiwa, pendidikan membuat kita lebih waras.

7.Sekolah meremehkan guru-guru yang berbakat, pendidikan memuliakan para pemilik ilmu.

8.Sekolah tak membuat kita menjadi terdidik, pendidikan menjadikan kita manusia seutuhnya.

9.Sekolah membuat murid merasa bodoh, pendidikan membuat kita tercerahkan.

10.Sekolah ajarkan pengetahuan untuk jawab soal ujian, pendidikan ajarkan ilmu untuk hidup.

LIMA RUKUN SAKIT JIWA IRONISIA







Dalam level tertentu, cukup dikatakan orang sakit jiwa dengan ciri-ciri berikut:

1. Bersaksi bahwa lebih memilih ditakuti daripada dicintai.

2. Senang melihat orang lain berada dalam kesulitan.

3. Suka mengaku-aku. Selalu gunakan sudut pandang orang pertama (aku, saya, ane, ai) untuk hal yang seharusnya menggunakan pronomina pertama pluralis (kami, kita).

4. Curiga orang lain bakal merebut posisi yang dianggapnya terhormat. Dia akan berupaya menggagalkan dengan cara apapun, termasuk memfitnah.

5. Menetapkan standard tinggi untuk orang lain. Padahal, dirinya sendiri hanya sedikit lebih baik dari level idiot. Dengan kata lain, menuntut orang lain (terutama yang dalam kuasanya) sempurna, sementara dirinya sendiri jauh dari kata istimewa.

Jika di sekitar kita ada orang dengan ciri di atas, tak perlu sungkan untuk menganjurkan dia perlu melakukan terapi ke psikiater dan minum pil antipsikotik.

RUKUN IDEOLOGISASI NEGERI IRONISIA




Jika ingin ingin memasukkan ideologi (sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran) tertentu ke orang lain, atau ingin mengenali diri sendiri apakah sedang menjadi sasaran proses itu, baiknya memperhatikan lima rukun proses ideologisasi. Lima rukun tersebut adalah:

1. Bersaksi tak ada kelompok yang benar selain kelompok sendiri. Nafikan kebenaran kelompok lain. Pastikan dari awal ditegaskan bahwa kelompok lain sedang tersesat, perlu diluruskan dan didoakan supaya kembali ke jalan yang lurus. Penafian kesesatan kelompok lain dimulai dari dosis yang rendah, dan terus ditingkatkan seiring intensitas pertemuan.

2. Puji habis-habisan bahwa anggota yang baru adalah orang-orang yang berada di jalan yang benar ketika masuk ke organisasi. Katakan mereka adalah orang-orang istimewa, yang terpilih, yang mendapat petunjuk dan sejenisnya.

3. Buat jargon atau laras bahasa yang ekslusif, yang akan dipakai dalam percakapan sehari-hari. Lalu, lekatkan konotasi-konotasi tertentu pada ungkapan tersebut.

4. Lakukan proses itu berulang-ulang, secara simultan alias tanpa henti selama kurun tertentu. Apapun yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi ideologi. Sekali tak hadir dalam agenda pertemuan, sasaran harus dikejar sampai ideologi itu masuk di kepala mereka.

5. Setelah ada tanda ideologi itu tertanam, kasih doi jabatan/pekerjaan, minimal penyebar pamflet atau perekrut calon anggota baru. Dengan cara ini, harga dirinya bakal terjaga dan ideologi tak akan pudar selamanya.

Silakan dicoba sekaligus melirik ke diri sendiri. Apapun bisa menjadi ideologi selama diterima sebagai kebenaran oleh seseorang. Aliran kepercayaan, politik, hingga merek sebuah produk dapat menjadi ideologi.
Jadi, tak perlu bangga jika kita sedang memeluk ideologi tertentu karena yang dinamakan ideologi tak ada kaitannya dengan kebenaran hakiki. Dengan kata lain, ideologi sekadar kebenaran personal atau kelompok secara sempit.

Rabu, 21 Januari 2015

TANYAAN PALING MENYEBALKAN SEPANJANG MASA


Salah satu kelebihan masyarakat Ironisia adalah selalu ingin tahu urusan orang lain. Mungkin ini akibat masyarakat di negeri ini yang tak kunjung naik level kepintarannya. Semakin rendah status intelektual seseorang, semakin tak tahu diri masuk ke ranah pribadi orang lain.
Baru kenal saja, masyarakat ini sanggup melontarkan pertanyaan yang bikin orang lain frustasi. Berikut beberapa contoh bagaimana masyarakat Ironisia tersebut menyayat hati lewat apa yang disebutnya keramah-tamahan:
1. Eh,,, Dah nikah belum?
Bagi perempuan lajang di atas 25 tahun, pertanyaan ini lebih menyakitkan ketimbang melahirkan! Menikah adalah urusan pribadi. Atas dasar apa orang asing harus masuk ke ruang privat orang lain tanpa ijin?
Jika masih lajang, jawaban yang setimpal untuk pertanyaan ini adalah:
Belum, soalnya nunggu suamimu (atau istrimu) duda (janda).
2. Gajinya berapa?
Seolah-olah hendak kasih duit saja kalau gaji di bawah standard. Emang, kalau gaji kurang, mau kasih santunan?! Kebanyakan orang bertanya seperti ini hanya untuk melihat tingkat status ekonomi orang yang ditanya.
Jawaban yang adil:
Cukuplah, buat ajak kencan adik/anakmu.
3. Kamu kerja di proyek atau pabrik?
Orang tanya dengan asal tebak profesi orang lain. Biasanya, disesuaikan dengan usia, baju yang kita kenakan atau kendaraan yang kita duduki.
Jika tebakannya tak sesuai, jawaban yang pas adalah:
Pilih kerjaan paling rendah yg pernah kita lakukan, supaya dia puas. Kasihan, yang tanya dengan penuh asumsi biasanya orang rendahan (setidaknya secara mentalitas).
4. Semester berapa? Kok belum lulus!
Bagi mshswa semester tua, pertanyaan ini lbh menyakitkan drpd ditanya kapan nikah.
Jawab saja:
Belum, belum boleh lulus sama kajur.
5. Islam antum sudah kaffah belum?
Asli, tanyaan ini jauh lebih nyelekit daripada ditanya, “agamamu apa?” Rentetan pertanyaan sejenis adalah, “berkah gak?” “Sudah shalat dhuha/tahajud belum?”
Kita sedang ketemu malaikat oplosan, jadi gak perlu dijawab. Dia gak akan ngerti bahasa manusia yang gak sepaham.

KETIKA KAMBING KACANGAN JADI GURU PARA HEWAN








Di negeri Ironisia, seorang begawan menyepi di pedalaman hutan. Dia hanya ditemani sepasang kambing kacangan (kambing berukuran kate). Selesai bertapa, dia memberi makan dua kambing yang disayanginya seraya mengajak bercengkerama.

Melihat ini, burung-burung berceloteh bahwa si kambing menerima pengajaran agung sang begawan.

Kabar cepat tersebar, hewan lain seperti banteng, kuda, biri-biri, kijang, sapi dan kura-kura pun kompak hendak ke padepokan berharap pengajaran serupa.

Sesaat menjelang kawanan hewan tersebut datang, sang begawan menghembuskan nafas terkhir. Sebelum wafat, ia berpesan kepada kambingnya untuk tetap tinggal di padepokan, menunggu pertapa lain memanfaatkan tempat yang telah dibangunnya.

Kawanan binatang tersebut pun sampai. Tanpa basa-basi, mereka meminta sang kambing memberi pengajaran.

Merasa sebagai ahli waris, kambing kate ini pun mendaulat diri sebagai pemimpin padepokan. Semuanya setuju, menghargai senioritas si kambing. Mereka akhirnya mufakat, padepokan akan menjadi tempat pengajaran para binatang.

Hari-hari berjalan, kambing memberi pengajaran. Ternyata tak ada yang kambing ajarkan selain truisme (kebenaran yang terlalu jelas dan umum). Satu-satunya pengajaran yang khas adalah mengembik.

Merasa ahli mengajar, kambing kacangan mendeklarasikan padepokan terbuka untuk umum: dengan banteng, kuda, biri-biri, kijang, sapi dan kura-kura sebagai guru, selain dirinya sebagai suhu utama.

Kecuali binatang buas, para hewan berbondong-bondong datang mengantarkan anak mereka untuk dididik.

Melihat banyaknya yang datang, kambing kacangan takjub. Dia mulai sadar pentingnya kewibaan, imej dan kedudukan. Untuk menjaga wibawanya dia membuat sejumlah aturan demi memastikan pengajar lain tak mengalahkan karismanya:

  1. Banteng dilarang membelajarkan ketenangan dan sikap pasang badan kala menghadapi macan.
  2. Kuda terlarang ajarkan keberanian, cara berlari, berjingkrak dan menyepak.
  3. Biri-biri tak diijinkan menunjukkan potensi bulu binatang.
  4. Kijang tak boleh ajarkan kegesitan, menanduk dan berkelit kala terancam.
  5. Sapi tak dapat ijin menunjukkan potensi susu yang dimiliki binatang.
  6. Kura-kura haram wasiatkan tips panjang umur.

Pengajaran utama di padepokan ini hanyalah mengembik, sesuai keahlian utama si kambing kacangan.

Dalam ketidakberdayaan karena tak punya otoritas, guru-guru lain hanya bisa mengamini titah kambing. Semua potensi yang dimilikinya tak berguna karena institusi tak mengijinkan bersemainya keahlian lain selain mengembik.

Namun, mereka tetap berharap bakal ada perubahan kebijakan. Di saat bersamaan, si kambing betina melahirkan sepasang keturunan, yang segera didaulat si kambing kacangan bakal menjadi penerus dirinya.

Dalam kondisi demikian, kambing kacangan sangat bangga. Melihat muridnya melimpah, dia merasa sudah berhasil melakukan apa yang disebutnya sebagai pendidikan.