Senin, 26 Januari 2015

JIKA PINTU MASJID TERKUNCI


Di banyak tempat, akhir-akhir ini, sejumlah masjid hanya dibuka ketika digelar shalat berjamaah lima waktu. Seusai jama’ah, pengurus buru-buru mengunci rapat-rapat, hanya disisakan emperan untuk tempat shalat.

ikut dikunci pula.

Artinya, secara tak langsung, masjid tak memberi ruang untuk orang shalat dhuha atau shalat isya yang terlambat, apalagi tahajud. Terutama bagi musafir dan orang miskin, masjid bukanlah tempat yang ramah seperti dulu.

Jika itu yang terjadi di masjid sekitar kita, setidaknya ada 3 sebab mengapa kunci pintu menjadi penghalang hamba-hamba Tuhan yang ingin munajat dengan itikaf atau shalat di tempat yang katanya rumah Tuhan tersebut:

1. Masjid gagal menebar rasa aman
Alasan paling klasik bagi masjid yang gemar mengunci pintunya adalah keamanan. Di situ ada karpet, mikrofon, mimbar dan lain-lain yang takut digondol maling. Jika alasannya ini, jelas hanya membuktikan bahwa masjid gagal melakukan pembinaan dan memberikan contoh bagaimana seharusnya berakhlakul karimah. Atau, pengurusnya malas menyimpan mikrofon dll di tempat yang aman.

Jika alasannya karena kebersihan, takut dimasuki hewan dan para pengotor lain, bukannya masjid cukup ditutup atau dikunci dengan tetap membiarkan kunci tersebut di pintu, sehingga semua orang punya akses ke ruang utama untuk melakukan berbagai ibadah. Sekaligus memberikan pembelajaran tentang disipilin, tangggungjawab dan kebersihan.

2. Mental Birokrasi
Masjid bukanlah kantor seorang pejabat yang ada jam pelayanannya. Allah tak pernah tidur. Oleh sebab itu, setiap saat, ada waktu bagi seorang untuk ibadah, dengan mengetuk kasih Allah di rumah-Nya. Mengapa orang harus dihalangi untuk beritikaf dan melakukan shalat-shalat tertentu?

Jelas, mental birokrasi yang hierarkis, struktural dan serba rumit khas negeri kita sedang menggelayuti pengurus masjid tersebut.

Jangan hanya ketika minta bantuan, menyebut masjid sebagai rumah Allah. Jika benar rumah Allah, tentu tiap saat hambaNya bisa masuk untuk memujaNya.

3. Egoisme merajalela
Semakin sering masjid dikunci, semakin tinggi pula tingkat egoisme pengurusnya. Masjid sebaiknya tidak dijadikan alat untuk unjuk kuasa melalui penguasaan kunci pintu dan aturan-aturan yang tak berpihak kepada para musafir dan orang-orang miskin.

Masjid seharusnya menjadi lembaga pelayanan, melayani siapun terutama orang-orang yang ingin ibadah karena memang tujuan didirikannya adalah untuk itu, bukan untuk melayani keinginan pengurus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar